Sabtu, 08 Desember 2007

Jika Komputer Jadi Rebutan

"Kama bud," sapa Iwan (13).
"Kapai ka mancari lokasi les komputer rencana. Baa ka pai," jawab Budi.
"Dima tu?" lanjut Iwan.
"Alun tau lai. Nan jaleh, dima nan dakek sajo. Soalnyo, awak lah lamo nio
baraja komputer," kata Budi.
"Eee...disakola ado mah. Manga juo kalua les?" tanya Iwan bercampur heran.
"Iyo lamo bana barajanyo. Sampai kini, baragak ka baragak juo baru. Alah ado komputer, tapi alun juo bisa dipakai. Antah baa kolah sampai co itu?" keluh Budi

Percakapan dua siswa tadi secara tak sengaja terdengar di atas angkutan kota Padang. Dari baju yang dikenakannya, diketahui kalau mereka berasal dari SMP 6 Padang. Memang, baru-baru ini sekolah lanjutan pertama yang terletak di daerah Ampalu Lubuak Bagaluang, baru saja mengalami miscomunication persoalan "si kotak pintar". Antara Kepala Sekolah dan rekanan pemasok. Hubungan yang tadinya mesra---layaknya keluarga, tiba-tiba renggang. Yah...semua gara-gara 20 unit komputer. Ke duanya ngotot dan saling tuding.

Masing-masing 'mengklaim' berhak terhadap (memasok) komputer di sekolah tersebut. Perang ego antara ke duanya pun berlanjut. Pihak sekolah, siswa, orang tua dan komite bingung. Alhasil, seluruh kotak pintar tadi tak pernah disentuh semenjak datang ke SMP 6. Tak satu pun "penghuni" sekolah berani mengoperasikan. Mereka tak mau terkena imbas serta terjebak perselisihan yang tidak diketahui sebabnya.

Bermula dari bincang-bincang bersama pihak sekolah (guru, komite dan orangtua siswa). Sebuah kesepakatan pun lahir. Yakni; di sekolah ini secepatnya dilengkapi dengan labor komputer. Bincang tadi pun ditutup. Menyoal apa jenis, merek dan berapa dimintai ke siswa—pasalnya dari rencana dibeli dari hasil pengumpulan uang/patungan—dari rencana dilanjutkan nanti. Herannya, selang beberapa Minggu—rapat lanjutan belum dilakukan—20 unit komputer datang ke sekolah tersebut. Para penghuni sekolah, heran. Lho...ini komputer siapa yang pesan ?

Ternyata, komputer tersebut adalah pesanan "langsung" kepala sekolah. Ia meminta seorang rekanan—notabene merupakan sohib karib, menghandle pengadaan komputer di sekolah tadi. Kekagetan para orangtua, guru dan komite tak cuma sampai disitu, para siswa tiba-tiba dimintai uang iuran bulanan untuk pembelian komputer. Padahal, keputusan 'bersama' untuk itu belum disepakati.

Sejumlah asumsi negatif menyesak di kepala para guru, orangtua siswa dan pihak komite. Kenapa bisa begini? Untungnya, prasangka jelek tadi cepat - cepat ditepis. Mungkin saja, semua merupakan kreativitas positif kepala sekolah. Dengan tujuan siswanya cepat bisa belajar komputer. Apalagi yang memasok juga teman dekatnya si kepala sekolah. Guru, para orangtua dan komite sekolah pun bangga. Salut buat keputusan "sendiri" kepala sekolah. Aplus pun diberikan secara bersama - sama.

Naifnya, selang beberapa minggu setelah itu, kejadian yang tidak diharapkan terjadi. Ke 20 unit komputer tersebut tiba - tiba dikembalikan ke rekanan pemasok oleh kepala sekolah. Alasannya, tidak memenuhi standar yang diinginkan. Perseteruan pun terjadi antara si pemasok (rekanan) dan Kepala Sekolah. Ujung - ujungnya, 20 unit komputer baru pengganti didrop ulang—dimasukkan yang baru. Yang lama dikembalikan ke renakan pertama— kembali ke sekolah tadi.

Selisih paham antara kepala sekolah dan rekanan yang tadinya pemasok awal, berujung hingga ke meja Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang. 20 komputer yang disebut masuk melalui perjanjian tertulis tersebut akhirnya menjadi sengketa. Siapakah yang salah dalam persoalan ini? Kenapa kotak pintar tadi diperebutkan ? Siapa yang bertanggungjawab terhadap rasa penasaran para siswa yang terlanjur berharap belajar komputer? Bagaimanakah sikap dari pihak instansi terkait serta Diknas Padang? Jawaban sejumlah pertanyaan tersebut masih saja belum terjawab, hingga kini. Yang jelas, persoalan ini harus segera dituntaskan. Solusi harus segera dicari. Dengan harapan, tidak berlarutnya sengketa antara ke dua mantan "konco arek" tadi. Sebab, yang menjadi korban akibat sengketa tadi adalah para siswa dan para orangtua.(*)

Tidak ada komentar: