Sabtu, 24 November 2007

Petaka di awal Lebaran

Anggur merah yang selalu memabukkan / dianggap belum seberapa / dahsyatnya / bila dibandingkan dengan senyuman mu / membuat diri ku tak berdaya...Yhhiee..Haa....Lanjuttt.....Tangan di atas....Mainkan Musiknya, jangan sampai berhenti bosss...

Lantunan mudik dangdut yang dibawakan Bidin Khan, terlihat terdengar nyaring. Sejumlah pemuda pun bergoyang dengan mata merem tak ubahnya orang mengantuk. Mereka terlihat terbuai irama. Sehingga lupa, kalau hari itu merupakan hari lebaran. Yang harusnya dirasakan dengan silaturahmi dan bermaafan dengan para saudara, family dan kerabat dekat.

Naif, makna tadi justru di selewengkan segelintir dari mereka (pemuda). Hari nan fitri tadi, justru merayakannya dengan pesta minuman keras. Tragedi yang tidak diharapkan pun terjadi. Saking banyaknya menenggak, mereka semaput. Ada yang sakit, pingsan, bahkan ada yang merenggang nyawa. Tewas akibat meminum minuman keras oplosan.

Tragis memang. Kejadian ini pun menyentakkan setiap orang yang mendengar. Dimana, entah apa itu namanya, mereka (segelintir oknum pemuda di Ujuang Gading) telah menjadikan lebaran sebagai ajang pesta miras. Nyaris disetiap sesudut daerah, banyak pemuda nongkrong dan berkerumun. Lagak dan gayanya hampir sama. Botol miras ditangan kanan, rokok ditangan kiri. Mata merah, berdiri sempoyongan. Suara keras pun siap menghardik setiap warga yang lewat di lokasi. Terutama yang menatap penuh curiga kepada aktifitas mereka. “ Hoi, apa liat-liat. Mau gabung lho...Kalau gak, pergi sana!”

Tanpa disadari, perlakuan tadi justru membahayakan dirinya. Selang beberapa hari usai pesta tersebut, petaka pun datang. Miras oplosan yang dicampur asal jadi (kabarnya ada campuran yang mengandung metanol) mulai bereaksi. Cukup fatal, satu persatu dari mereka tumbang. Ada yang sakit perut, ada yang pingsan. Mereka pun dilarikan ke puskesmas dan rumah sakit terdekat.

Malang, beberapa diantara mereka tak terselamatkan. Miras yang diteguknya tadi pun menjadi minuman terakhir yang ditenggaknya di awal lebaran. 1 orang pria tak dikenal bersama 5 orang pemuda Ujung Gading, tewas dalam tenggat waktu yang nyaris sama. Tak cuma itu, beberapa pemuda lain (yang ditengarai ikut pesta miras) didapati kritis dan dirawat. Mereka KERACUNAN miras oplosan !

Kapolres Pasaman Barat, AKBP Mahavira Zein menyebut, kejadian itu diketahui setelah seorang pemuda tewas pada Jumat (13/10/2007). Ia bernama Een (30) warga Jorong Pasa Lamo Nagari Ujung Gading Kecamatan Lembah Malintang Kabupaten Pasaman Barat. Tak lama, berturut-turut adanya pemuda lainnya yang dilaporkan sekarat dan ikut meninggal. Jumlahnya kian hari bertambah. Data terakhir diperoleh, sudah 8 orang tewas. Sedang yang ditengarai keracunan, mencapai ratusan pemuda di sana.

Pada Selasa (16/10), pemuda bernama Adi Dumbuang, kembali tewas. Di susul Niki (18), Ruski (21), Ikhwan Daulay (30), kemudian seorang pria tanpa identitas yang masih belum diketahui identitasnya. Sementara, korban lainnya yang ditemukan sekarat masih dirawat di RSUD Jambak.

Mereka adalah Lokot (26) seorang wiraswastawan warga Pasar Lama Ujung Gading, Mulkan (26) yang juga wiraswastawan warga Jalan Bali Ujung Gading, Genta Yuhanda (25) juga wiraswastawan warga Jalan Sunda Ujung Gading, Diki Elnanda (20) seorang pengangguran warga Jalan Flores Ujung gading dan Riswandi (28).

Dugaan jenis miras yang mereka komsumsi adalah campuran beberapa miras. Seperti, Mansion House yang dicampur Sprite dan ada kemungkinan juga dicampur dengan Tuak. Untuk itu, pihaknya telah mengumpul keterangan dari saksi-saki dan memeriksakan contoh barang bukti (BB) ke Balai POM Padang. Sementara untuk visum et revertum para korban yang tewas sudah dimintakan kepada pihak rumah sakit.

“Kejadian Senin (15/10) sangat tidak diduga sama sekali, karena H-8 sebelum lebaran, kami dari jajaran Polres Pasaman Barat sudah melakukan razia miras. Hasil razia itu, sekitar 2000 botol miras dan 500 liter tuak sudah dimusnahkan,” ungkap Kapolres. Diduga kuat, mereka tewas akibat mabuk sejak berpesta miras berkelanjutan (satu sampai dua hari). Mulai, 13 - 15 Oktober 2007.

Warga mulai dicekam rasa takut

Mendapati banyaknya pemuda yang ikut pesta mabuk-mabukan dirawat di rumah sakit, ratusan warga lainnya— yang anaknya juga ikut pesta miras—mulai dihantui rasa takut.Satu persatu dari mereka, tumbang dan jatuh sakit. Wali Nagari Ujung Gading, Drs Ahmad Tamrin yang dihubungi Telusur menyebut, dari beberapa orang warga diperoleh keterangan kalau pesta tadi dimulai pada Jumat (13/10). Persisnya, usai umat muslim menunaikan Sholat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1428 H. Beberapa warung terdekat ditengarai menjual miras pun, mulai didatangi.

Seperti Een (30) warga Pasa Lamo tersebut bersama teman-temannya pergi minum minuman keras ke warung Tawon di Pasa Lamo itu. Setelah ia mabuk dan tergeletak tak berdaya di warung tersebut. Ia diantar teman-temannya ke rumahnya. Akhirnya, tidak beberapa lama sampai di rumahnya, keluarganya memberitahukan kalau si Een, meninggal dunia.
“Hingga kini, setidaknya warga di Lima Jorong; Jorong Pasa Lamo, Koto Sawah, Koto Pinang, Kuamang, dan Jorong Tampus di Kenagarian Ujung Gading Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman Barat dihantui kecemasan,” ucap Ahmad Tamrin.

Ahmad Tamrin menerangkan, daerah Ujung Gading termasuk salah satu daerah yang banyak beredar minuman keras. Sejumlah anak mudanya pun terlihat sudah terbiasa menenggak “air api” tersebut. “ Selaku Wali Nagari, sejumlah warung tempat menjualnya pun sudah dilaporkan ke polisi. Terutama yang berada di daerah Pasa Lamo, Siahaan di Jorong Koto Sawah, Tandak di Jorong Koto Pinang, Sulis di Jorong Kuaman, Agus di Jorong Tampus dan Lijar di Jorong Pasa Lamo di Belakang BRI.

Mahavira Zein menambahkan, pihaknya juga sudah menindak lanjuti laporan tersebut. Barang bukti (contoh miras) juga sudah dikirim untuk diperiksa ke Balai POM Padang. Anehnya, selang beberapa jam usai Kapolres setempat berkomentar, pihak BPOM malah membantah perihal telah dikirimnya sample, ke BPOM oleh pihak kepolisian.

Herannya, "Sampai saat ini kami belum menerima kiriman sampel itu. Kalau sudah terima pastinya langsung kita periksa," kata Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BBPOM, Dra Maryorie Apt pada Kamis (18/10/2007).

Belum adanya sampel itu menyebabkan sulitnya mengetahui penyebab pasti zat yang merenggut nyawa mereka. Meskipun secara kasat mata dan data, ke tujuh pria malang itu tewas seusai menenggak minuman keras merk Mansion yang dicampur dengan tuak.

Maryorie menduga, tewasnya tujuh pemabuk itu disebabkan adanya kandungan Metanol dan Etanol dalam minuman yang ditenggak. Tapi belum bisa dipastikan, karena perlu dilakukan uji laboratorium terhadap barang bukti.

Minuman keras pastinya memiliki kandungan alkohol sebagai kandungan utama, selain air. Alkohol saja atau yang dikenal juga sebagai Etanol, merupakan jenis alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sifatnya yang tidak beracun menjadikan bahan kimia ini banyak dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan minuman.

Etanol tidak berwarna dan tidak berasa tapi memilki bau yang khas. Bahan ini dapat memabukkan jika diminum. "Setiap minuman keras memiliki kandungan Etanol yang berbeda disetiap jenis dan merknya. Ada yang 3 %, 5 % bahkan lebih. Namun bisa jadi juga ada Metanol didalamnya. Walau sedikit, tapi memiliki efek mematikan. karena jenis ini adalah racun," lanjutnya.

Berbeda dengan Etanol, kelompok alkohol lainnya yaitu Metanol. Merupakan zat yang berbahaya. Bahan kimia ini banyak digunakan sebagai bahan pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40% metanol diubah menjadi formaldehyde (bahan dasar formalin), dan dari sana menjadi berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan tekstil. Pada suhu biasa, Metanol berbentuk cairan yang mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas.

"Jangankan untuk diminum, kena mata saja bisa mengakibatkan kebutaan permanen," tandas Maryorie.

Berangsur Sembuh

Pasien yang dirawat di RSUD Jambak dan Puskesmas Ujung Gading mulai membaik. Dari 9 orang yang dirawat di ruang bedah kini semuanya sudah pulang karena kondisinya sudah membaik. Sedangkan di ruang interne tinggal satu orang lagi. Ia bernama Martaon, mengaku sebagai penjual miras.Pasien baru yang masuk ke RSUD Jambak dengan keluhan sakit akibat meneggak minuman pun sudah tidak ada.

Tapi, dua pasien yang sudah pulang mengalami kerusakan pada mata. Parahnya, mendekati kebutaan. Diantaranya; Iswandi (28) yang keluar dari RSUD sekitar pukul 15.00 Wib Jum’at (19/10/2007) kemarin dan Azwan Kamis (18/10/2007) lalu. Petugas medis setempat mengatakan keluarga Iswandi minta pulang untuk melakukan kontrol terhadap mata Iswandi ke Padang . Kemungkinan, minuman tersebut telah menyerang dan merusak jaringan optik pasien. Namun belum ada peryataan resmi dari pihak rumah sakit.

Pimpinan Puskesmas Ujung Gading, Muhar Nasution mengatakan paginya memang sempat banyak pasien yang datang untuk memeriksakan diri tapi tidak ada yang dalam kondisi kritis. Sedangkan pasien rawat inap tinggal 3 orang lagi dan sorenya direncanakan akan dipulangkan karena kondisnya sudah membaik. Namun, pihak puskesmas tetap meminta jika ada kejanggalan yang dirasakan pasien segera mendatangi puskesmas untuk pengobatan.

Rencana Bikin PERNA

Upaya membangun kesepahaman dalam pemberantasan minuman keras di Nagari Ujung Gading, unsur masyarakat baik Wali Nagari, Wali Jorong, Ninik Mamak, Alim Ulama, Pemangku Adat, tokoh pemuda bersama pihak kepolisian, berkumpul. Mereka merembukkan langkah-langkah jalan keluarnya. Sayangnya, kesepakatan tidak terjadi kala itu.

Kondisi memanas. Karena dalam pertemuan di Gedung Pertemuan Nagari Ujung Gading sejak Pukul 14.00 - 18.00 WIB, masyarakat mendesak supaya dilakukan penahanan terhadap pengedar. Konon, permintaan itu tidak bisa dikabulkan pihak kepolisian.
“Untuk penangkapan si penjual, kita memang tidak bisa lakukan. Semua butuh bukti lengkap dulu. Sebelum terbukti adanya unsur pidananya. Kecuali, jika korban tewas akibat adanya campuran racun di dalam miras. Apalagi, para dokter yang memeriksa dan merawat menyebutkan korban tewas akibat kelebihan minum alias over dosis,” kata Mahavira Zein.

Dan lagi, tambahnya, campuran dari miras tadi—dari keterangan beberapa saksi diperiksa—diracik sendiri. Salah satu langkah, menunggu hasil pemeriksaan dari BPOM.
Sikap inilah yang disesali warga. Seperti disebutkan Ahmad Tamrin selaku Wali Nagari Ujung Gading. Ia mengaku kecewa dengan sikap pihak kepolisian. Kenapa sudah ada korban, si penjual tidak juga ditangkap. Lagi pula, rata-rata mereka tidak mempunyai izin untuk menjual alias illegal.

“Mestinya ditangkap dulu. Soal proses hukumnya persoalan belakangan. Kalau cuma sekadar menyita dan memusnkahkan barang, efek jeranya kecil . Mereka akan terus menjual dan kejadian sama bakal terulang,” kesalnya.

Ahmad Tamrin menuturkan, para tokoh masyarakat sudah menyepakati untuk membuatkan peraturan nagari untuk minuman keras ini. Dimana bakal dimasukkan dalam ajuan peraturan nagari. Sesuai kesepakatan, wacana ini bakal dilakukan dalam waktu dekat. “ Semua guna menangkal penggunaan dan distribusi bebas miras di Nagari Ujung Gading,” katanya.

Sebuah tekad yang patut diacungkan jempol. Tapi yang paling utama diharapkan—para keluarga korban—apakah benar miras tadi beracun? Atau para anak-anak mereka cuma over dosis. Inilah yang mesti segera diterangkan pihak terkait. Semua demi kejelasan serta petaka tidak lagi menyertai Lebaran tahun depan di Pasaman Barat. Semoga.(*)

Read More......

Jangan Panik Saat Mudik

Ondeh.....besuak lah rayo lo. Baa caro pulang ko. Kalau dipakai oto, jalan macet, kalau dipakai onda, si dedek samo apo lo pulang. Rumah tingga, lai indak ka masuak maliang ko? Uhhh..... Ungkapan ini sepertinya pernah dilontarkan para pemudik. Terutama pemudik dari daerah Sumbar.

Mereka panik dan ragu bagaimana cara aman untuk pulang ke kampung halaman. Faktor yang mempengaruhi masih sama seperti tahun lalu. Yakni: jalanan kerap macet, ragu meninggalkan rumah dalam kondisi kosong, keamanan di jalanan dan kelayakan kendaraan mudik.

Kendala-kendala itu menjadi rutinitas yang selalu dinikmati para pemudik setiap akan pulang. Tidak jarang faktor tersebut dijadikan pertimbangan untuk menunda kepulangan atau lebih ekstrimnya, memutuskan untuk tidak pulang sekalian. Padahal kerinduan pada kampung dan keluarga sudah tidak tertahan.

Tapi anda jangan keburu panik dulu. Karena beberapa hari menjelang hari H lebaran, pemerintah lewat dinas-dinas terkait dan dibantu aparat kepolisian telah mengantisipasi masalah-masalah yang kemungkinan akan muncul. Perbaikan jalur-jalur mudik, pengamana jalan sampai pada kelayakan angkutan lebaran, telah dilakukan. Termasuk memantau arus lalu lintas.

Untuk kelayakan kendaraan mudik misalnya. Sejak jauh-jauh hari terhitung H-7 sampai H+7, Dinas Perhubungan Kota Padang telah menguji kelaikan jalan armada mudik Angkutan Kota Antar Propinsi (AKAP) maupun Angkutan Kota Dalam propinsi (AKPD). Uji secara menyuluruh telah dilakukan sejak kemarin di Terminal Regional Bingkuang (TRB).

Kendaraan yang layak jalan dibekali dengan stiker resmi, sedangkan yang tidak memiliki stiker, artinya tidak lolos uji. Dan tidak boleh dinaiki. Masyarakat yang akan menggunakan kendaraan umum, diminta untuk memperhatikan tanda itu.

Demikian juga untuk pengamanan jalur transportasi. Polda Sumbar telah mengerahkan sedikitnya 4 ribu personil yang ada. Mereka disebar di titik-titik yang menjadi langganan kerawanan, seperti macet, kecelakaan dan tindak kriminal. Selain personil kemanan, polda juga menyiapkan Sniper (penembak jitu), untuk mengantisipasi aksi perampokan terhadap pemudik. Semua personil disebar di 71 buah titik rawan di Sumbar. Dua titik paling diawasi adalah jalur lintas Sumatera Padang-Bukittinggi, Padang-Solok. Lokasi ini merupakan daerah rawan kejahatan.

Diakui beberapa jalan-jalan yang dilewati arus mudik juga rawan longsor. Namun upaya khusus disiapkan Dinas Prasarana Jalan dan Jembatan Sumbar. Beberapa unit alat berat di stand by kan dilokasi-lokasi itu. Tujuannya hanya satu untuk mengantisipasi penumpukan dan kemacetan arus mudik, sekiranya longsor memang terjadi.

Kendati antisipasi telah dilakukan, bukan berarti semunya selesai. Yang terpenting adalah persiapan personal pemudik sendiri. Karena tidak jarang gangguan terjadi akibat kelalaian pemudik. Kecelakaan misalnya, walupun faktor jalan tidak bisa dipandang sebelah mata, tetapi human error (kesalahan manusia) juga tidak punya pengaruh besar. Mengantuk, melupakan kondisi kendaraan dan tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Dengan kesiapan mental, ditambah berbagai antisipasi diatas. Tidak ada alasan untuk panik saat mudik. (*)

Read More......

Rabu, 21 November 2007

Dari Kunker Komisi C DPRD PADANG ke Kabupaten Badung, Bali (3/Habis)

Jarang Macet, Parkir Gratis dan PKL Tertata Rapi

Prinsip hidup bermasyarakat; Aku adalah Kamu - Kamu adalah Aku, tergambar jelas ditengah masyarakat. Budaya, adat dan agama berpadu satu--tidak terlepas satu sama lain. Toleransi antar umat beragama. Kendati beda, semua tetap 'Nyame' (saudara).

Ini pulalah yang membuat masyarakat Badung (Bali) tidak mudah dirasuki pihak-pihak luar yang berniat jelek---adu domba. Masing-masing umat beragama saling menghargai keyakinan masing-masing. Uniknya, jelang perayaan hari besar, mereka (yang beda agama) ikut berpatisipasi. Tanpa dikomadoi, ikut bergotong-royong (Nayaa) dirumah ibadat yang berhari besar.

" Tapi bukan ikut dalam upacara. Mereka hanya membantu bergotong royong membersihkan rumah ibadat dan menyumbang bahan makanan atau buah-buahan," ujar Asisten I Bidang Pemerintahan Setdakab Badung, Wisnu Bawa Temaja.

Ini jugalah yang mendasari mudahnya pihak pemkab dalam mensukseskan program pemerintahannya. Sehingga kalau para umat hindu patuh terhadap adat, umat yang lain secara tidak langsung mengikuti.

Salah satu contoh persoalan Parkir. Kalau di daerah lain merupakan sebuah persoalan pelik dan sulit dalam penataan. Disini justru terkoordinir dengan baik. " Langkah yang kami ambil hanya memberikan penyadaran kepada masyarakat. Ini daerah wisata berwawasan adat. Nyaris seluruh PAD dihasilkan dari sektor itu. Selaku masyarakat, wajib menyadari. Jangan mempersulit atau mengganggu para wisatawan. Karena dari sana jugalah lapangan kerja bakal terbuka lebar," terangnya.

Langkah ini membuah hasil memuaskan. Masyarakat justru melindungi para wisatawan yang datang. Pungutan liar (pungli) dalam perparkiran tidak ada. Rasa terlindungi tadi membuat pendatang (wisatawan) sadar dan bakal malu kalau memarkir kendaraan serampangan. Semua tertata rapi secara alami dan kekeluargaan. " Hanya saat upacara adat saja pihak desa adat turun tangan mengatur perparkiran di sini," kata Wisnu.

Langkah lain yang dilakukan pemkab; menjadikan sejumlah ruas jalan di lokasi wisata "one way" (satu arah). Ini sengaja diciptakan agar di sisi jalan dapat digunakan para pejalan kaki. " Alhasil, kemacetan sangat jarang terjadi disini. Sebab, masyarakat rata-rata patuh terhadap aturan yang disepakatinya bersama," jelasnya.

Lokasi Khusus PKL

Pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini disebut sebagai penyebab kemacetan, juga dibuatkan lokasi khusus. Mereka dibuatkan petak-petak toko dengan sewa murah dan terjangkau.

" Semua demi antisipasi mereka tidak sembraut dalam menggelar dagangan. Bagi yang membandel dianggap melanggar aturan desa adat. Dan bakal dikenakan sanksi adat oleh para pecalang (penjaga keamanan desa adat)," kata Wisnu.

Rata-rata mereka tidak ada yang melanggar. Karena, sejumlah fasilitas sudah dilengkapi di petak toko yang dibuatkan khusus. Dan sanksi adat dirasa lebih berat dibanding sanksi lainnya.

Pantai Bersih

Khusus menjaga kebersihan areal pantai, dilakukan langsung oleh masing-masing pemuka para desa adat. Secara bergantian, kaum muda dan tua bahu membahu membersihkan pantai. Mereka yakin, kalau pantai bersih pengunjung bakal senang dan datang berkunjung. Otomatis, Pendapatan mereka yang rata-rata selaku penjual jasa (guide, penjual souvenir dan lainnya) bakal bertambah.

Untuk pembuangan akhir, tim kebersihan pun diturunkan setiap pukul 07.00 WIB. Sampah dibawa ke TPA. Limbah tadi kemudian diolah kembali (dibeli) oleh perusahaan pengelola limbah. " Dalam artian, sampah pun merupakan salah satu sumber pendapatan di sini," katanya.

Tanpa terasa, pertemuan tadi pun telah berjalan selama 2 jam. Rona kepuasan dimasing-masing wajah rombongan komisi C DPRD Kota Padang, tergambar jelas. Setelah saling tukar cendera mata, rombongan pun pamit. Sebuah kebulatan tekad secara tak langsung terpatri di masing-masing wakil rakyat Kota Padang. Pelajaran berharga tadi "harus" dicontoh. Khususnya untuk kebaikan pembangun Padang Kota Tercinta ke depan. Semoga...(*)

Read More......

Dari Kunker Komisi C DPRD PADANG ke Kabupaten Badung, Bali (2)

Tinggi Bangunan Dibatasi

Keunikan yang dimiliki Kabupaten Badung, sepertinya layak mendapat acungan jempol. Setiap mendirian bangunan; baik hotel, villa dan lainnya tak cuma diharuskan menggunakan ciri khas Bali. Tingginya pun dibatasi tiga tingkat saja alias tidak boleh lebih dari 15 meter.

Aturan tersebut ditegaskan melalui sebuah peraturan daerah (perda). Dan jelas, kalau melanggar, si pemilik dan si pengembangnya dikenai sanksi tegas. Yakni; dimintai membongkar ulang bangunan (memotong) kembali. Tak cuma itu, mereka pun dikenai denda yang cukup tinggi.

" Sanksi tegas ini sengaja dilakukan. Sebab disamping sudah merupakan komitmen bersama pihak provinsi. Tinggi sebuah bangunan tidak boleh lebih dari 15 meter (tidak boleh lebih tinggi dari pohon kelapa). Sebab, kalau di sini sudah berdiri bangunan menjulang seperti gedung tinggi pencakar langit, Bali khususnya Badung tidak lagi terkesan sebagai daerah wisata. Imejnya bakal berubah menjadi Metropolitan dan Megapolitan. Yang perlu diingat; pemerintah provinsi Bali beserta seluruh daerah tingkat duanya sudah bertekad untuk menjadikan Bali adalah Bali. Dan tidak bakal mau berobah menjadi daerah Metropolitan atau lainnya," terang Asisten I Bidang Pemerintahan Setdakab Badung, Wisnu Bawa Temaja.

Wisnu menyebutkan, bagi para investor yang baru datang ke sini, aturan tadi memang terasa asing dan aneh. Tapi sesuai ketentuan, kalau berkeinginan berinvertasi mau tak mau mereka harus serta wajib mematuhi aturan. " Sanksi tegas tadipun sudah kami buktikan. Dimana pernah ada investor yang secara diam - diam melanggar ketentuan tadi dan ketahuan. Mau tidak mau, ia pun harus menerima sanksi dan meruntuhkan kembali bangunan yang telah dibangun tersebut," tambahnya.

Menyoal model, kata Wisnu, setiap bangunan diwajibkan berciri khas Bali (bercorak adat serta budaya setempat). Tak cuma demi keseragaman, sebab bali merupakan daerah wisata berwawasan budaya. " Adat dan budaya tadilah yang diperkenalkan ke para wisatawan," ucapnya.

Aturan Khusus Pengurusan IMB

Kesadaran masyarakat dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), sudah merupakan persoalan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Dalam artian, masih di antaranya bangunan yang didirikan tidak memiliki IMB. Persoalan klasik enggan mengurus tetap saja menjadi fenomena.

Tapi di sini (Badung), persoalan tadi dapat disikapi pekab setempat. Pihak pemerintah mempunyai sebuah trik khusus. Melalui pendekatan - pendekatan secara kekeluargaan, masyarakat pun bisa mengerti serta dengan kesadaran sendiri akhirnya mau mengurus pembuatan IMB tersebut. Trik tadi, sepertinya tidaklah sesulit yang diperkirakan. Pemkab bersama para wakil rakyat merumuskan sebuah peraturan daerah (perda) khusus.

" Pemkab tidak pernah memaksa dalam persoalan ini. Sebab, khususnya tanah adat, tidak dilakukan secara tegas. Pendekatan secara adat dan pengertian secara kekeluargaan berlandaskan perda khusus yang dibuat, akhirnya dapat mengatasi persoalan tadi. Sebab, masyarakat disini lebih takut dengan sanksi adat dibanding sanksi lainnya" terang Wisnu.

Pelestarian Pohon - pohon Kayu

Kalau sebagian investor atau pengembang ---yang ingin mendirikan bangunan---di Sumbar menganggap pohon kayu besar di lokasi menganggu serta harus ditebang, di Badung (Bali) justru sebaliknya. Masyarakat beserta pemerintah justru melestarikan pohon kayu besar tersebut. Di sini, batang kayu besar tetap dijaga serta tidak dianggap mengganggu.

" Aturan mengenai penebangan pohon kayu besar dituangkan ke dalam perda. Tak cuma itu, secara adat menebangnya tidak boleh serampangan alias asal tebang. Semua melalui proses upacara adat," tukas Wisnu.

Secara filosofi, tambahnya, keyakinan tadi bukan berarti masyarakat menyembah pohon atau menganut paham 'animisme'. Hanya bermanifestasi kalau di dalam pohon besar bernaung kekuatan ghaib yang justru bisa melindungi pemilik bangunan. " Ini pulalah yang membuat sejumlah pohon kayu berusia ratusan tahun dipasangi kain kotak - kotak putih hitam yang biasa dipakai para 'pecalang' (penjaga keamanan)," katanya.(*)

Read More......

Dari Kunker Komisi C DPRD PADANG ke Kabupaten Badung, Bali (1)

Melirik Keunikan untuk Perubahan Padang

Tidak dipungkiri, penataan (wilayah) Kota Padang masih belum seperti yang diharapkan. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Guna mencarikan solusi, para wakil rakyat kota Padang mencoba mencari perbandingan ke daerah dan provinsi yang dianggap layak di contoh. Kali ini, Provinsi Badung di Bali pun di lirik. Dengan harapan dapat menjadi inpirasi untuk perubahan perwajahan Kota Padang ke depan.

Setelah beristirahat semalam di penginapan, Jumat (16/11) rombongan kunjungan kerja dari DPRD Padang disambut jajaran pemkab Badung. Tepatnya pukul 09.00 WITA, ke 19 orang anggota rombongan dijamu di ruang Teratai Kantor Bappeda Kabupaten Badung jalan Mulawarman No.3 Lumintang Denpasar.

Rombongan yang dikomandoi Wakil Ketua DPRD Kota Padang Z Panji Alam terdiri; Afrizal (Ketua Komisi C), Zulfahmi HR St Sati (Wakil Ketua), Djunaidi Hendry ST (Sekretaris), Daharuddin, Ir Priyanto, Drs Faizal, Idrial Idrus ST, Syafrial Oyong, Jamasri, Albert Hendra Lukman SE, Syafrizal Gazali, Zulfadli Tanjung (keseluruhannya anggota Komisi C).

Selain itu, Ir Harmen Feri (Kadinas TRTB Kota Padang), Basyaruddin S Sos (Kabag Keuangan Sekretariat), Drs Fabian Sekretariat, Syam Putra Jaya (Sekretariat). Dan diterima Asisten I Pemkab Badung Wisnu Bawa Temaja dan Wakil Ketua DPRD Kab Badung I Gusti Putu Kamandhi.

Dalam temu ramah tersebut, Wisnu memaparkan, Kabupaten Badung adalah satu dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali. Secara fisik mempunyai bentuk unik menyerupai sebilah "keris" layaknya senjata khas masyarakat Bali. Keunikan ini kemudian diangkat menjadi lambang daerah. Dan secara langsung merupakan simbol semangat dan jiwa ksatria. Ihwal ini pun sangat erat hubungannya dengan perjalanan historis wilayah ini, yaitu peristiwa "Puputan Badung". Semangat ini pun kemudian melandasi motto Kabupaten Badung yaitu "Cura Dharma Raksaka" yang artinya kewajiban pemerintah adalah untuk melindungi kebenaran dan rakyatnya.

Kabupaten Badung terletak pada posisi 08o14'17" - 08o50'57" Lintang Selatan dan 115o05'02" - 115o15' 09" Bujur Timur, membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Mempunyai wilayah seluas 418,52 km2 ( 7,43% luas Pulau Bali ), Bagian utara daerah ini merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk, berbatasan dengan kabupaten Buleleng, sedangkan di bagian selatan merupakan dataran rendah dengan pantai berpasir putih dan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Bagian tengah merupakan daerah persawahan dengan pemandangan yang asri dan indah, berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan kota Denpasar disebelah Timur, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Tabanan.

Kabupaten Badung merupakan daerah berikilim tropis yang memiliki dua musim yaitu musim kemarau (April - Oktober) dan musim hujan (Nopember - Maret), dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 893,4 - 2.702,6 mm. Suhu rata-rata 25 - 30oC dengan Kelembaban udara rata-rata mencapai 79 %.

Secara administratif Kabupaten Badung terbagi menjadi 6 ( enam ) wilayah Kecamatan yang terbentang dari bagian Utara ke Selatan yaitu Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta, Kuta Utara, & Kuta Selatan. Disamping itu di wilayah ini juga terdapat 16 Kelurahan, 45 Desa, 1 Desa Persiapan, 361 Banjar Dinas, 148 Lingkungan dan 13 Lingkungan Persiapan.

Selain Lembaga Pemerintahan seperti tersebut di atas, di Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat yang terdiri dari 119 Desa Adat, 523 Banjar dan 523 Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat 1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta 1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha Kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga, anggota masyarakat adat ini terikat dalam suatu aturan adat yang disebut "awig - awig". Keberadaan awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga umumnya masyarakat sangat patuh kepada adat. Oleh karena itu keberadaan Lembaga Adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat. Banyak program yang dicanangkan Pemerintah berhasil dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang ada. Termasuk pencapaian restribusi sesuai ditargetkan.

" Badung atau Provinsi Bali umumnya sengaja dibikin unik. Segala sesuatunya berwawasan adat, budaya dan agama. Tak ubahnya daerah lain, sistem pemerintahan juga unik. Dimana, setiap desa adat (kelurahan) dipercaya untuk mengelola daerah masing-masing. Kita pemerintah hanya memantau, mengarahkan kinerja serta tidak ikut campur dalam pengelolaan. Karena, masyarakat Bali khususnya yang beragama hindu sangat patuh dan taat dengan sanksi adat dibanding sanksi lainnya. Seluruh keunikan tadipun kami jadikan sebagai salah satu ciri khas di sini," terang Wisnu.

Begitupun mengenai pembangunan, tambahnya. Di Badung, setiap pembuatan bangunan baru dilakukan sebuah upacara adat. Model bangunannya pun diarahkan sesuai adat. " Dalam artian, seluruh pembangunan yang dibuat pengembang maupun investor tidak boleh keluar dari ketentuan adat dan budaya. Begitu juga dalam pengelolaan wisata. Kalau tidak, bakal dikenai sanksi. Yakni sanksi adat dan pemerintah setempat. Seluruh keunikan inilah yang membuat Badung ataupun Bali berbeda dari kota lainnya di Indonesia," pungkas Wisnu.(*)

Read More......

Senin, 12 November 2007

Permen Bisa “Bakar” Bibir ?

Hari itu, Jumat tanggal 10 Agustus 2007. Jam ditangan menunjukan pukul 15.00 WIB. Kendati sudah memasuki sore, terik mentari masih terasa menyengat kulit. Panasnya, serasa siap membakar manusia siang itu. Disalah satu bangsal RS M Jamil, seorang bocah terlihat meringis. Hawa panas diluar, terlihat dirasa lebih olehnya. Bibirnya yang membengkak dan melepuh, terlihat kian berair dan basah. "Angek Pak...angek. Kipeh..kipeh," rintihnya.

Filo Agustin namanya. Umurnya sekitar 5 tahun. Bibirnya terlihat bengkak dan melepuh. Mirip dengan bekas luka bakar.

Namun, dari penuturannya dan ke dua orang tuanya, luka tadi bukan disebabkan api. Tapi, gara-gara mengkonsumsi permen jenis lolipop. Katanya; disampel kemasan (bungkus) tertulis Milkita. Mungkinkah dia keracunan? Atau termakan permen kadaluarsa? Hingga kini, semua masih berupa teka-teki. Pihak rumah sakit, belum berani memberikan hasil diagnosa pengecekan (penyebab pasti). Pihak BPOM Padang, masih saja mengecek sampel kemasan. Pihak perusahaan, justru membantah.

Filo, masih saja terbaring lemah dibangsalnya Jumat lalu. Tidak ada perubahan berarti pada dirinya. Kondisi tubuhnya, memang tidak ada sakit. Semuanya normal. Bengkak dan luka di bibirnya, masih belum pulih. Ia masih kesulitan dalam menelan makanan dan minuman yang disuapkan orangtuanya. Warga Pulau Aia, Parak Laweh, Kecamatan Lubuak Bagaluang ini, tidak lagi dapat menikmati kehidupan kanak-kanaknya semenjak Kamis (2/8) lalu. Bibirnya kian memerah dan menghitam. Rasa sakit masih tetap membakar bibirnya.

Zainal Anwar (41) - ayah Filo tidak kuasa menahan haru melihat nasip anak keduanya itu. Air mata laki-laki paruh baya tadi, menitik. Dipikirannya, sejumlah pertanyaan masih saja menggumpal. Kapankah penderitaan anaknya berakhir? Perasaan cemas dan kesal terasa menyesakkan dadanya. Ia panik

Hingga Jumat kemarin, aku Zainal, pihak rumah sakit belum bisa memberikan keterangan mengenai penyakit diderita anaknya. Apakah ini keracunan atau apa? Obat yang diberikan pihak rumah sakit pun, terlihat belum terlihat membantu meringankan penderitaan Filo. Kendati pun sudah digunakan sesuai anjuran (3 kali sehari), obat berbentuk syirup— disebut pihak rumah sakit sebagai antibiotik—masih belum memperlihatkan perkembangan berarti.

" Kalau begini terus-terusan dan harus dirawat tanpa diketahui penyakit dan obatnya, jelas saya tidak mampu membiayai Filo," ucap pedagang ikan di Pasa Gauang Padang Selatan yang setiap tiga hari sekali, mengaku harus menebus obat antibiotik untuk Filo.

Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memang sudah melakukan pengecekan langsung terhadap keluhan penyakit Filo yang diduga termakan permen kadaluarsa itu. Sampel memang telah diambil, tapi belum ketemu titik terang. Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang turun langsung meninjau, ternyata tidak dapat berbuat banyak, penyakit Filo masih saja belum diketahui. Benarkan bibir Filo terbakar manisnya permen yang dikonsumsinya ? Semua masih kabur dan belum terjawab hingga kini.(*)

Read More......

Gigitan Maut Nyamuk Belang

Sore itu, bunga (nama samaran) terlihat terbaring lemah. Wajahnya pucat. Di sisi bangsal tidurnya, tergayut sebuah botol impus. Sesekali, bibir bocah lima tahunan itu terlihat mengerang. Uhhh..uhhh..Sakittt..Bundaaa..

" Maaf Nak, Bunga masih sakit. Panasnya masih tinggi. Jadi, dimohon untuk tidak terlalu ramai disini. Bisa-bisa dia menangis lantaran tak tahan pengap dan panas," ucap Monik (nama pinjaman), ibundanya yang setia menemani. Pemandangan ini tanpa sengaja terlihat oleh penulis disalah satu Rumah Sakit di Kota Padang. " Bunga menderita demam berdarah. Dan sudah, 3 hari dirawat disini. Jangan tersinggung ya, kalau saya minta agak sedikit menjauh. Kasihan si Bunga," lirih Monik.

Demam Berdarah. Lagi-lagi wabah demam akibat gigitan maut nyamuk kaki belang ini menyerang masyarakat. Sepertinya, tiap tahun ratusan (mungkin) orang ditengarai terserang dan mengalami penderitaan seperti dialami Bunga. Siapa yang menduga, kalau gara-gara gigitan seekor nyamuk kecil bisa berakibat fatal. Apalagi kalau nyamuk dengan kaki berwarna belang-belang putih di kaki.

Dipastikan,dalam beberapa hari kemudian, gejala demam akan melanda. Dengan tanda-tanda: demam tinggi. Tak lama, kondisi fisik pun diyakini bakal menurun dan melemah. Kalau dibiarkan, justru akan lebih parah dan fatal.

Khusus Sumbar, wabah ini terlihat kembali mulai menggurita. Parah lagi, Sumbar diyakini dapat tergolong daerah "merah" demam berdarah. Gawat ! Keterangan tersebut dikemukakan salah seorang anggota Tim Kelompok Kerja (Pokja Khusus Pemberantasan DBD) asal Sumbar, H Syamsir BA. Lelaki paruh baya yang juga merupakan anggota Komisi IV DPRD Sumbar tadi menyebut, di Sumbar ada 5 Kabupaten/Kota yang dikategorikan Endemis. Yakni: Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padangpariaman, Kota Bikittinggi dan Kota Pariaman.

Dengan dinyatakannya lima daerah tingkat dua tadi sebagai daerah endemis demam berdarah dengue (DBD), pihak pemprov dan pemkab/pemko setempat diharapkan bisa memberikan perhatian lebis serius lagi terhadap wabah tersebut. "Tidak ada cara lain, keseriusan pemerintah baik tingkat satu maupun dua sangat diharapkan. Tanpa adanya keseriusan, maka mustahil wabah tersebut bisa dihentikan. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan berbagai gerakan moral untuk menghindarkan masyarakat dari wabah yang mematikan tersebut," terang Syamsir kala itu kepada wartawan di DPRD Sumbar.

Dari data dibeberkan tim pokja tadi; Kota Padang (1192 kasus), Pariaman (12 kasus), Bukittinggi (16 kasus), Padang Panjang (5 kasus), Solok (7 kasus), Sawahlunto (4 kasus), Kabupaten Pesisir Selatan (16 kasus), Padangpariaman (12 kasus), Sawahlunto Sijunjung (1 kasus), Solok (2 kasus), Tanah Datar (43 kasus) dan Dharmasraya (4 kasus). Sedangkan korban meninggal: 12 orang di Kota Padang dan 1 orang di Dharmasraya.

Bukti ini secara langsung telah memberikan sinyal supaya bisa sepenuhnya memberikan proteksi kepada masyarakat. Perbanyak penyuluhan kepada warga. Terutama pentingnya langkah-langkah hidup sehat. Demi satu harapan (bersama) Sumbar terbebas dari Zona Merah Nyamuk Belang.(*)

Read More......

Kaki Gajah Ancam Sumbar

Awas ! semua jenis nyamuk bisa menularkan penyakit kaki gajah. Sebaris kalimat tadi terlihat ditulis dengan huruf besar di selembar pamflet keluaran dinas kesehatan. Tak dipungkiri, tulisan tadi membuat warga yang membaca, merinding.

Kalimat tadi bukanlah untuk menakut-nakuti. Hanya berupa himbauan agar masyarakat lebih memperbaiki lagi pola hidup sehat mereka. Dan memperhatikan kalau-kalau masih ada lokasi kurang sehat dilingkungan tempat tinggal mereka.

Kalau ingin lebih mengetahui lagi apa itu penyakit yang dari bahasa kesehatan bernama filariasis tadi, pihak Dinas Kesehatan juga akan memutarkan video khusus dampak serta bahaya penyakit menahun tersebut. Dengan harapan, para warga mau diambil sampel darah jarinya untuk diperiksa pihak kesehatan setempat. Sebab, kesadaran akan pentingnya dilakukan pemeriksaan, masih saja minim.

Sekadar diketahui, selain rentan penularan penyakit pun bersifat menahun. Dalam kondisi kronis, penyakit kaki gajah akan menyebabkan penurunan produktivitas kerja si penderita. Potensi penularan tinggi. Terutama di daerah-daerah yang memiliki perindukan nyamuk dan sumber penular (penderita). Apalagi, semua jenis nyamuk bisa berperan menjadi vektor penular penyakit. Jumlah penderita terus bertambah karena potensi penyebarannya sangat besar.

Penyebab; rendahnya kesadaran hidup sehat, penyebaran juga disebabkan buruknya sanitasi serta kondisi lingkungan tempat tinggal yang masih belum mengenal kebersihan. Penanggulangan terhadap penyakit ini membutuhkan kerja sama banyak pihak. Pengobatan tidak akan bermanfaat jika kebersihan lingkungan tempat tinggal kurang mendukung. Penyakit yang menyebabkan cacat seumur hidup ini, jelas merupakan ancaman serius bagi masyarakat. Dari situs Depkes RI, sebuah daerah dinyatakan endemis bila dari 500 orang yang diperiksa ditemukan lima kasus (satu persen).

Data Dinas Kesehatan Sumbar 2005, 163 warga telah terserang Penyakit Kaki Gajah. Tersebar di 10 Kabupaten/Kota. Hasil survei menunjukkan penyakit kaki gajah paling banyak ditemukan di Pasaman Barat, yakni 47 penderita. Selain itu, kabupaten Pesisir Selatan (33 orang), Kabupaten Kepulauan Mentawai (24 orang), Kabupaten Agam (24 orang), serta di Padang Pariaman, Tanah Datar, Dharmasraya, Sawahlunto Sijunjung, Limapuluh Kota dan Kota Padang.

Sedang dari mapping (survei pemetaan) yahun 2006; bertambah menjadi 11 Kabupaten/Kota di Sumbar. Yakni, Kabupaten Pasaman Barat (46 kasus), Mentawai (12 kasus), Pesisir Selatan (36 kasus), Agam (30 kasus), Limapuluh Kota (5 kasus), Tanah Datar (2 kasus), Sawalunto Sijunjung (3 kasus), Padangpariaman (6 kasus), Dharmasraya (10 kasus), Padang (7 kasus) dan Bukiktinggi (1 kasus).

"Angka tersebut didapat berdasarkan hasil mapping kasus filaria (kaki gajah) tahun 2006. Penyakit yang bersifat kronis dan akut ini harus cepat diobati, karena dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin. Penyakit disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan oleh 23 jenis nyamuk," kata Kasubdin Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PPL) dr H Lazwardi MKes, Jum’at (27/7/2007)

Persoalan dana masih saja menjadi kendala dalam pemberantasan. Banyak dari penderita yang pasrah dan membiarkan kaki mereka membengkak. Satu-satu solusi pemberangusan wabah adalah pengobatan "gratis" massal. Pengobatan di wilayah endemis kaki gajah setidaknya dilakukan setahun sekali.

Pengobatan dilakukan hingga lima sampai 10 tahun sejak sebuah daerah ditemukan endemis. Dengan pengobatan massal ini diharapkan mata rantai penyebaran kaki gajah dapat diputus. Namun , pengobatan massal menyeluruh dan serempak di Kabupaten /Kota di Sumbar tetap saja tersendat dana.

Baru-baru ini, tepatnya tanggal 16 Juli 2007, Pemko Bukittinggi telah melakukan pengobatan gratis Filariasis. Pengobatan massal diselenggarakan pada Posyandu dan Puskesmas di seluruh wilayah Kota Bukittinggi.

"Filariasis mesti diwaspadai dan harus dilakukan antisipasi serta pencegahan menyeluruh agar tidak menyebar. Penyakit ini dapat menyebabkan cacat seumur hidup kepada si penderita," ujar Walikota Drs H Djufri.

Naifnya, langkah tadi tidak dilakukan 'serentak' oleh 18 kab/kota lain di Sumbar. Kenapa? Apakah dana kembali menjadi kendala? Padahal, kalau ingin melakukan pemberangusan wabah filariasis harus dilakukan serentak dan menyeluruh. Dengan harapan, wabah kaki gajah bisa dimusnahkan dari ranah minang!(*)

Read More......

Jumat, 09 November 2007

Kesetrum “Tagihan” Listrik

Tiupan segar angin di siang itu, sepertinya tak mampu menyegarkan ‘gerah’ dirasakan Indra Jaya (43). Selaku seorang pelanggan listrik di Letter U Pasarraya Kota Padang Sumbar, perasaan tersebut selalu dirasakan setiap pertengahan bulan. Tepatnya, sehabis melakukan pembayaran tagihan rekening listrik ke pihak dinas Pasar. Ia tak habis pikir. Tagihan rekening listrik yang harus dibayar selalu saja naik setiap bulan. Disegi pemakaian, dirinya merasa biasa dan normal—tak ada penambahan beban.Heran?

Unek-unek ini sudah dirasakannya semenjak 2004 lalu. Persisnya semenjak diberlakukannya perhitungan pemakaian melalui 12 Gardu Induk listrik. Kebijakan yang katanya menyiasati berkurang pencurian listrik—pengganti meteran terhadap pelanggan di Pasarraya, justru membingungkan.

" Terus terang, saya kecewa setiap membayar tagihan setiap bulan. Keinginan mengetahui berapa pemakaian, selalu saja tidak kesampaian. Petugas loket pembayaran, selalu saja menjawab kalau total pemakaian para pelanggan di Pasarraya sudah masuk secara otomatis ke nomor rekening dari gardu induk," ujarnya.

Ketidakadaan kejelasan inilah, sebut Indra, yang selalu memicu kekesalannya sehabis membayar tagihan. Bagaimana gak kesal, suatu hari justru saya pernah mendapati membayar sama—jumlah tagihan sama besar—dengan seorang pedagang lain. Padahal, kalau dipikir banyak lampu dan besar toko berbeda.

" Dulunya tak seperti ini. Setiap pelanggan memiliki meteran masing-masing. Berapa beban terpakai pun dapat dicek. Tapi setelah ada gardu listrik, pelanggan resah. Disamping jumlah beban tidak dapat terpantau, biaya beban tidak menentu. Ujung-ujungnya, biaya pemakaian jadi bervariasi dan naik-turun tak menentu," akunya.

Andre (32), pedagang lainnya ikut menambahkan. Kekesalan terhadap sikap pihak Dinas Pasar selaku pengelola listrik pasar juga sudan lama dirasakan. " Memang ada meteran yang mencatat berapa besar daya listrik yang digunakan di setiap toko. Namun, jika diperkirakan, sepertinya frekuensi pemakaian digunakan tidak sesuai dengan jumlah yang tercatat dimeteran. Itu dan inilah yang membuat pedagang harus membayar tagihan listrik dengan jumlah besar," duganya.

Naifnya, tambah Andre, terkadang Dinas Pasar bertindak asal jadi. Mereka terkadang dengan seenaknya memberikan aliran listrik pemilik toko ke pedagang kaki lima. Kendati pemakaian sudah terbagi—antara toko dan PKL—soal tagihan ke dua pihak bayar membayar beda. Walau diambil dari stop kontak pemilik toko. Ini jelas merugikan pemilik toko. Tarif jadi membengkak. Karena, dipakai berdua dengan PKL. Kendati kerap diprotes, pemberian tadi tetap saja berlangsung. " Hematnya, kami memiliki meteran saja masing-masing. Supaya bisa tahu berapa pemakaian per bulannya. Dari pada harus bingung dan kesal setiap bulan," harapnya.

Sekadar diketahui, katanya, sebuah petak toko dengan daya 420 dengan golongan B1, yang listriknya langsung dikelola PLN, tertulis Biaya Beban Rp 10.575. Tarif biaya pemakaian, ditetapkan perblok. Blok 1 Rp 254, Blok 2 Rp 420 dengan PPJU Rp 3.500. Tapi kalau tarif listrik dikelola Dinas Pasar Padang biaya beban Rp 40 ribu, tarif per kWh Rp 750 dengan RPJ sebesar Rp 6.475. " Lebih mahalkan. Awalnya kami mau saja membayar, cuma kalau keterusan sepertinya memberatkan juga," tandasnya.

Persoalan di atas jelas membutuhkan solusi yang akurat. Sebab, kalau dibiarkan berlarut, dipastikan bakal menjadi pertengkaran yang berlarut. Apakah itu harus dikembalikan ke PLN, atau dilakukan perbaikan dalam pengelolaan tergantung kesepakatan bersama. Tentunya antara pihak pengelola, pelanggan dan pihak Pemko selaku penengah. Yang pasti, jangan biarkan pedagang pasar keterusan ‘kesetrum’ tagihan setiap bulannya!.(*)

Read More......

Rabu, 07 November 2007

Resah di Gerbang Sekolah

Paras wanita paroh baya ini terlihat lusuh. Keningnya berkerinyit. Ia resah dan cemas.

Itu semua disebabkan mahalnya biaya masuk pendaftaran siswa baru. Mulai dari biaya "wajib beli" baju disekolah, uang pembangunan dan administrasi "ini-itu" di sekolah yang dimasuki anaknya.

Dan kalau tidak dibayar dalam batas waktu ditentukan, kemungkinan besar anaknya bisa tidak diterima disekolah tersebut. Kendatipun memiliki nilai yang dirasa pantas memasuki sekolah tadi.

" Upss, mahal sekali rasanya uang masuk dedek (panggilan terhadap anaknya) di sini. Aturannya juga ketat. Kegunaannya juga kurang dijelaskan. Ibu jadi resah, Nak. Sepertinya, nilai bagus yang Dedek miliki belum menjamin diterima. Lagi-lagi uang menjadi penghalang," ungkap Rahmi (48), salah seorang orangtua siswa kepada anaknya saat mengunjungi situasi penerimaan siswa baru di salah satu SMP di Padang.

Rahmi merasa, ada sebuah keganjilan dalam penetapan harga yang harus dibayar tersebut. Sebab, setelah dicoba ditanya ke pihak panitia penerima pendaftaran, dirinya tidak mendapat kejelasan yang dapat dimengerti. Pihak sekolah justru menyebut keputusan tadi sudah merupakan ketetapan bersama. Yakni, antara pihak sekolah, komite sekolah dan perwakilan orangtua siswa.

Selaku orangtua siswa, ia merasa jawaban yang diterima tadi bukanlah jawaban seorang pendidik. Pihak sekolah harus memberikan porsi jawaban yang tepat. Misalnya, Buk-Pak lebih jelasnya bisa ditanyakan langsung ke pihak yang menyepakati. Apakah itu pihak Kepsek, Komite Sekolah atau wakil orangtua siswa yang mengetujui kesepakatan. Supaya kami bisa mengetahui untuk apa kegunaan patokan uang sebanyak itu.

Sebab, kalau kurang penjelasannya, bisa saja menyebut tidak ikut menyepakati. Ikut menolak karena merasa tidak diikutsertakan. Rasanya tidak salah kalau para orangtua siswa baru berpikiran semua dikarenakan keputusan sepihak Komite Sekolah. Yang cuma bisa tersenyum saat memutuskan sebuah kesepakatan, tapi tidak menyadari kalau senyuman tadi justru meresahkan para orangtua siswa yang harus pinjam sana-sini demi kelanjutan pendidikan anak mereka.

Fenomena diatas sepertinya sudah menjadi agenda tahunan yang tidak tertulis. Kendati selau diributkan, kejadiannya selalu terulang. Kita mengetahui kalau para siswa ada yang punya kakak dan adik. Mereka pasti memiliki baju seragam sekolah. Di kalangan keluarga kurang mampu—yang memiliki keinginan bersekolah—pinjam meminjam baju antara adik kakak merupakan hal biasa. Yang penting ada seragam sekolah.

Nah, kini justru seragam tadi yang dijadikan salah satu persoalan kegamangan untuk masuk sekolah. Heran? Lagi-lagi komite yang diduga dibelakang tingginya uang masuk sekolah tersebut. Orang tua siswa harus menyediakan sejumlah dana untuk mendaftar di sekolah tempat anak mereka diterima. Jumlahnya antara Rp 800 ribu - 1 juta. Dengan rincian, Rp 300 ribu - 400 ribu untuk membeli baju disekolah. Sisanya untuk biaya masuk (keputusan bersama walikota dan kepala sekolah, maksimal pungutan di SMP Rp 500 ribu dan SMA Rp 1 juta).

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002, menjadi dasar pembentukan komite sekolah dan dewan pendidikan. Tujuan dibentuknya komite adalah mewadahi, menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, serta menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan serta pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Komite sekolah secara legal mulai digulirkan sejak 2 April 2002 meski fungsinya bisa saja secara spesifik lokal telah ada yang menjalankan jauh sebelumnya. Konsep pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah yang terkandung di dalamnya memerlukan pemahaman berbagai pihak terkait, di mana posisinya dan apa manfaatnya.

Posisi komite sekolah berada di tengah-tengah antara orangtua murid, murid, guru, masyarakat setempat, dan kalangan swasta di satu pihak dengan pihak sekolah sebagai institusi, kepala sekolah, dinas pendidikan wilayahnya, dan pemerintah daerah di pihak lainnya. Komite sekolah pun harusnya menjembatani kepentingan keduanya. Bukan membiarkan para orangtua resah dan harap-harap cemas di gerbang sekolah(*)

Read More......

No Karcis, Prit-prit Jalan Terus

Perparkiran di Kota Padang masih saja terlihat "sembraut". Mulai dari maraknya muncul areal parkir ilegal—tidak dikelola petugas parkir resmi seperti di beberapa perkantoran. Hingga ketidakjelasan patokan harga yang harus dibayar pemilik kendaraan.

Seperti diketahui, ada tiga kategori pembagian titik perparkiran yang masuk dalam PAD Kota Padang. Yakni; titik ramai, sedang dan sepi. Tiga kategori tadi kembali dibagi dalam beberapa bentuk pengelolaanya. Melalui pihak ke tiga (organisasi yang dipercaya pemko), gedung, hotel & swalayan dan lokasi-lokasi tertentu yang dikelola langsung pihak UPTD Perparkiran Dishub.

Memang kalau dilihat sepintas, variasi tarif tadi memang tidak memberatkan. Namun, kalau dihitung-hitung (rekapitulasi), kocek terkumpul dari pungutan keseluruhan areal di Kota Padang cukup besar. Kemanakah mengalirnya uang parkir tersebut? Mungkinkah melenceng dari ketentuan (tidak sampai ke ke kas daerah) ?

Dari sejumlah lokasi tadi hanya sebagian yang menggunakan karcis dan seragam bagi juru parkirnya. Kendati jelas-jelas melanggar Perda No 12 Tahun 2001 tentang perparkiran, sanksi dari pemko pun terlihat lemah. Tak pelak, kelemahan tadi pun disinyalir dimanfaatkan segelintir oknum. Parkir liar pun kian marak.

Ketegasan dari pihak pemko jelas dibutuhkan disini. Baik ke pengelola liar maupun pengelola "resmi" dipercaya yang ditunjuk. Mulai dari standarisasi hingga jaminan untuk tidak menunggak pembayaran ke pemko. Semua demi meminimalisir "kecolongan" seperti tahun lalu.

Dimana, pihak ketiga yang dipercaya mengelola perparkiran di pasarraya Padang justru "melarikan" uang pemko sebanyak ratusan juta rupiah. Kemungkinan terparah lainnya, imej negatif "salah masuknya" aliran dana ke kantong oknum yang tidak bertanggung jawab bisa saja terjadi.(*)

Read More......

Interpelasi Separoh Hati

Untuk pertama kalinya, hak interpelasi diberlakukan di DPRD Padang, Sumbar. Sejarah terlahirnya Hak meminta kejelasan ini, digagas oleh 7 orang para wakil rakyat Kota Bingkuang periode 2004-2009 (dari 45 anggota). Terkait, pemberian izin pendirian dermaga wisata bahari dan AW Cafe, di badan Sungai (Batang) Arau Muaro Padang—belum mengantongi SITU (Surat Izin Tempat Usaha) tapi tetap diresmikan berdasarkan kebijaksanaan Walikota Padang.



Cerita pengajuan Hak Interpelasi, berawal ketika Walikota Padang, Drs H Fauzi Bahar Msi, meminta seorang anggota DPRD—yang masuk dalam barisan penggagas interpelasi— agar banyak belajar dan membaca buku (Terkait peresmian dahulu izin nyusul versinya AW Cafe). Konon, saran tadi dilakukan. Anggota dewan itu pun, membolak-balik buku serta memperbanyak membaca buku-buku semasa kuliah dulu. Tak disangka, usulan membaca memberikan sebuah pengetahuan baru baginya. Ia menemukan, kalau pendirian dermaga wisata bahari dan AW Cafe sarat dengan pelanggaran hukum. Alhasil, ide Hak Interpelasi pun lahir. Fantastis...!

Hak interpelasi, merupakan hak individu anggota DPRD. Hak itu, diatur dalam UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD, PP 25/2005 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Pemerintahan Daerah, PP 53/2005 dan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai Pasal 43 ayat (1) UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah disebutkan, anggota DPRD mempunyai hak interpelasi; angket; dan menyatakan pendapat.

Pada ayat (2) disebutkan, pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

Merujuk Keputusan DPRD Padang No: 189.23/DPRD-Pdg/2004 tentang peraturan Tata Tertib (Tatib) Pasal 23 disebutkan, DPRD mempunyai hak interpelasi (meminta penjelasan), hak angket (bertanya) dan hak menyatakan pendapat. Pada Pasal 24 angka (1) peraturan Tatib disebutkan, sekurang-kurangnya lima orang anggota DPRD dapat menggunakan hak interpelasi dengan mengajukan usul kepada DPRD untuk meminta keterangan kepada Walikota secara lisan maupun tertulis mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis, serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara.

Di daerah lain (luar Sumatera), pengajuan hak interpelasi bukanlah hal yang baru. Berbagai DPRD yang tersebar di Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia, pernah mempergunakan hak tersebut. Misalnya, interpelasi DPRD Depok yang menyoroti enam kebijakan Walikota Nur Mahmudi Isma’il medio Desember 2006. Kemudian, hak interpelasi yang diajukan DPRD Kabupaten Temanggung sekaitan aksi demonstrasi masyarakat yang mendukung. Lebih dari 100 orang pejabat di lingkungan pemerintahan Kabupaten Temanggung yang mengundurkan diri karena berseberangan dengan Bupati Temanggung, Totok Ary Prabowo Januari 2005 lalu. Lalu interpelasi DPRD Semarang, terkait dengan pemutusan MoU Pasar Kembangsari Lama oleh Bupati Semarang Agustus 2005. Juga interpelasi DPRD Kampar terhadap Bupati Jefri Noer Februari 2004 lalu.

Di DPRD Padang, ke 7 orang penggagas interpelasi berasal dari beberapa partai politik. Diantaranya; Yulsirman SH (Partai Golkar), Albert Hendra Lukman SE (PDI-P), H Erfan (PAN), H Maidestal Hari Mahesa (PPP), Dra Yasnida Syamsuddin MM (PBB) serta Djunaidy Hendri ST dan Idrial Idrus T (PKS).

Penggagas menilai, sejumlah aturan telah dilanggar Walikota. Diantaranya, menilai Walikota telah mengebiri UU No 28/2003 tentang Bangunan Gedung, UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, PP No 35/1991 tentang Sungai, Keputusan Gubernur Sumbar No 10/1995 tentang Petunjuk Pelaksana Sungai, Pantai, Daerah Penguasaan Sungai, Bekas Sungai dan Banjir Kanal. Begitu juga dengan Perda RTRW Kota Padang tahun 2004-2013, Perda Retribusi Pariwisata dan Perda tentang Retribusi IMB.

Dalam naskah hak interpelasi, para penggagas menjelaskan, Walikota terindikasi melanggar Pasal 7 UU No 28/2002. Di mana dalam Ayat 2 dijelaskan, persyaratan administratif bangunan gedung, meliputi persyaratan status hak tanah, status kepemilikan bangunan gedung dan izin mendirikan bangunan. Dalam Pasal 8 Ayat 1c, dijelaskan setiap bangunan mesti memiliki izin mendirikan bangunan. Dan dalam Pasal 11 Ayat 2, bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan atau parasarana dan sarana umum yang bersangkutan.

Kekuatan asal partai dari para penggagas itu sepertinya perlu disimak. Diantaranya: F-PKS beranggotakan 11 orang, F-PG berjumlah 10 orang (2 orang didalamnya dari PDIP), F-PPP 5 orang dan Faksi Bintang Persatuan Indonesia (F-BPI) tempat bergabungnya wakil rakyat dari PBB dan PKPI sebanyak 5 orang. Apabila penggagas interpelasi memang bisa me-representasikan suara fraksi masing-masing, diyakini perjalanan ajuan hak interpelasi bakal sampai ke tujuan. Tapi (maaf) yang perlu diingat, politik tetap saja politik. Bisa saja keyakinan tadi hanya dipegang teguh tim 7 saja. Para parpol mereka, belum tau...

Sebuah gambaran langkah separoh hati mulai tergambar dari sidang awal. Dalam Paripurna Istimewa Internal, kegamangan para penggagas—diduga banyak terima intimidasi dari sana-sini bahkan dari parpol—mulai terlihat. Sukseskah pengajuan interpelasi tersebut ? Entahlah. Yang pasti, semua akan diketahui jawabnya di hari Senin (11/6/2007). Cuma saja, kalau boleh dilakukan terka-terkaan, sejumlah pengamat menilai para wakil kita di DPRD tidak seluruhnya mendukung interpelasi. Alias tidak satu suara dalam pengajuan. Konsistenkah atau tidak, politik tetap jalan terus.

Mungkinkah Interpelasi Dikalahkan Mekanisme ? atau Mungkinkah Wakil Rakyat Bisa Merakyat ? Dalam artian membela penuh kepentingan Masyarakat demi pembuktian keseriusan permintaan kejelasan ke Walikota tentang persoalan yang dianggap perlu dipertanyakan (masyarakat juga ingin tau kejelasan) ?

Kalau saja, F-PKS dapat hadir 11 orang, F-Golkar 10 orang plus penggagas 3 orang (Esa, Erfan dan Yasnida)....maka interpelasi akan benar-benar menjadi sebuah sejarah baru. Otomatis, interpelasi tersebut bakal menjadi sikap DPRD yang akan disampaikan ke Walikota.

Sukses....sejarah itu pun (Nyaris) tertoreh. Di lingkungan internal para wakil rakyat, wacana interpelasi tersebut diterima. Di hari yang dijanjikan (disepakati) naskah interpelasi inipun diserahkan ke Walikota Fauzi Bahar. Naif, semenjak penyerahannya, naskah interpelasi tadi tak kunjung ada kabar. Jawaban dari Walikota pun tak terdengar beritanya. Sementara (maaf) Cafe AW yang notabene asal muasal penyebab, tetap saja berdiri dengan megah.

Interpelasi yang tadinya diagungkan para masyarakat Kota Padang--berani menggunakan haknya dalam menyanggah kebijakan pemerintah yang dianggap "keluar jalur" melanggar sejumlah aturan--justru dipertanyakan. Para anggota DPRD tersebut dianggap masih takut-takut alias tidak serius dalam menggunakan haknya. Interpelasi pun dianggap sekadar gagah-gagahan. Karena terkesan dilakukan dengan separoh hati.(*)

Read More......

Langgar, Bongkar Atau Bayar ?

Woii...Manga ko! Baa koq dirazia juo tampek ko? Kan alah disetor kapatang mah. Baa janji nyo tu..Tapi kalau mambayia indak kanai razia lain ? Panduto mah! Pokoknyo den dak nio...cubo lah bongka...!



Kalimat ini terdengar diteriakkan seorang wanita muda. Kartika (31), pemilik sebuah warung tenda di pinggir Pantai Padang—Jalan Samudera, siang itu. Si wanita melawan dan nyerocos kala anggota Sat Pol PP Padang mencoba membongkar kedai (bangunan liar) miliknya. Teriakan tadi terlihat cukup manjur. Pasukan penegak Perda terlihat "ngeper". Tampang beringas mereka, sontak berubah ramah. Bangunan tadi pun urung dibongkar. Sambil melenggang, lokasi tersebut ditinggalkan.

Kartika terus saja mengomel. Kepada wartawan yang ikut dalam razia ia menuturkan kalau dirinya telah membayar "uang keamanan berjualan" kepada salah seorang oknum Pol PP Kota Padang. " Lai tau dak, lah den bayia pitih keamanannyo mah. Dan labiah lo dari sakali. Tapi kini masih ka dibongka juo. Sia nan indak ka mamburansang dibuek nyo," ucapnya dengan nada keras.

Disebutkan Kartika, oknum Pol PP yang memintai uang yang dinamainya keamanan berjualan di sepanjang pantai. Totalnya sebanyak Rp 800 Ribu. Awalnya, sekitar 12 Mei 2007 lalu—saat baru satu minggu jualan. Si oknum mendatangi rumah Kartika. Ia menyebut kalau Kartika ingin aman dan tidak diganggu dalam berjualan, dirinya harus menyetor uang ke Pol PP. Jumlah relatif, untuk tahap awal cukup bayar Rp 500 Ribu.

Dikarenakan memang ingin aman berjualan, tanpa curiga uang yang diminta tadi pun diberikan tanpa kwitansi. Tak lama, si oknum yang yang berdua dengan rekannya ini pun pergi. Namun, pada tanggal 8 Juni 2007 lalu, si oknum kembali datang. Kali ini dengan mengenakan pakaian lengkap Pol PP. Ia menyebut kalau yang dikasih Rp 500 Ribu, tidak cukup. Dan, harus ditambah sebanyak Rp 500 Ribu lagi. Sebab, setoran keamanan harus Rp 1 Juta, kata si oknum.

Kendati kesal, Kartika yang memang ingin berjualan tadi terpaksa membayar. Namun kali ini ia mencoba menawar dengan harga Rp 300 Ribu. Oknum Po PP tersebut sempat ngotot, tapi akhirnya uang tadi tetap saja diambil. Dua hari kemudian, oknum Pol PP kembali. Kali ini tak lagi minta uang, tapi minta dibelikan pulsa simpati untuk ponselnya.

Kasi P3HP (Penegak Pelanggaran Produk Hukum Dan Perda) Pol PP Padang, Wardinu ikut kaget mendengarkan perkataan tadi. Ia mengakui kalau nama tadi mirip dengan nama salah seorang anggota Pol PP Padang. Tapi untuk kejelasan, akan dilakukan pengecekan. " Terbukti, si oknum ini jelas-jelas melanggar PP No 30/1980 tentang Disiplin PNS. Sanksinya cukup berat, yakni pemecatan dari jabatan," katanya.

Wow...sebuah fenomena yang tidak biasa memang. Tapi itulah kenyataan yang terlihat di pantai Padang, pada 11 Mei 2007 pukul 11.00 WIB. Kalau memang ini merupakan oknum Pol PP Padang, jelas-jelas perbuatan ini telah mencoreng kinerja pasukan penegak perda. Dalam artian, bisa-bisa saja korbannya tak cuma satu. Disinyalir, Kartika-kartika lainnya pun ikut "dipalak" dengan kedok keamanan.

Naifnya, si korban yang dimintai duit bisa beranggapan lebih baik membayar dari pada dibongkar. Kendati memang sedikit melanggar. Benarkah? Sebuah Pe Er bagi para penegak hukum dan Pemko Padang. Kalau benar, sikap tegas seperti yang diucapkan Kasi P3HP harus segera diterapkan. Semua demi menjaga citra para pasukan penegak Perda. Jangan sampai mereka yang harus menegakkan perda, justru (maaf) menjadikan perda tadi sebagai lahan "palak" alias pemerasan berkedok uang keamanan berjualan.(*)

Read More......

Virus Itu Bernama Togel

Paras lelaki paruh baya itu terlihat lusuh. Goresan ketuaan diwajahnya kian jelas. Dengan sorot mata kosong, ia mencoba tegar menjawab pertanyaan para wartawan di Kantor Polisi sore itu. " Ka baa juo lai. Awak tapaso manjua togel ko. Karajo dak adoh. Anak lah gadang-gadang. Pitih nan takumpua, cukuik pambali bareh jo samba sajo nyo. Kini ambo tatangkok. Antah jo apo anak jo bini ambo makan lai," ujar Udin (nama pinjaman), seorang penjual togel yang diringkus polisi beberapa waktu lalu.



Lelaki berusia 55 tahun ini menuturkan, profesi sebagai penjual judi toto gelap (togel) baru dilakoninya 6 bulan. Sebelumnya, ia berprofesi sebagai PKL (Pedagang Kaki Lima) di salah satu pasar rakyat di Kota Padang. Himpitan ekonomi dan kerasnya kehidupan membuatnya terpaksa banting stir. Tak ada pilihan lain, togel pun dipilih sebagai alternatif mencari uang cepat dan mudah. Kendati melanggar hukum, faktor ekonomi membuatnya nekad. Miris memang.

“ Kadang dapek pitih Rp 75.000, kadang labiah stek. Lumayan lah, pancukuik-cukuik an pambali bareh jo balanjo harian si amak paja di rumah,” ujarnya lirih. Sepenggal penuturan diatas, menandakan judi toto gelap masih ada di Kota Padang. Kendati penjualannya tak se-vulgar tahun lalu, para penjual mimpi tersebut tetap saja digandrungi dan dinanti-nanti peminat.

Kenapa para cukong tak pernah ketangkap? Terlalu licinkah si cukong ? Heran..Meskipun telah dijadikan target operasi semenjak dahulu, tetap saja tidak dijumpai dimana tempat persembunyiannya. Khusus Kota Padang, maraknya kembali togel tak ubah mewabah kembali virus lama yang sudah dilemahkan. Tahun 2006, Walikota Padang Fauzi Bahar boleh berbangga diri. Sebab, bersama sejumlah ormas/organisasi kepemudaan orang nomor satu Kota Padang ini berhasil membuat penjual dan cukong togel ketar-ketir. Buktinya, 99 persen virus togel tadi berhasil dilemahkan. Bagaimana di tahun 2007 ? Virus ini terlihat kembali berjangkit. Buktinya; di bulan Mei 2007, jajaran Mapoltabes Padang telah meringkus 4 penjual togel.

Sekadar diketahui, seseorang terseret ke arena meja judi dikarenakan berbagai sebab. Yang paling umum, ingin cepat kaya tanpa terlalu banyak kerja keras. Pejudi sendiri terdiri dari beberapa golongan. Antara lain: kelas menengah ke atas dan kelas menengah ke bawah.

Golongan pertama menghabiskan uangnya karena hobi, ingin tambah kekayaan, mengisi waktu luang atau karena memang seorang petaruh. Yang kedua ingin mengubah nasib yang tak kunjung membaik. Masyarakat miskin, contohnya. Meraka rata-rata berjudi karena ingin mengubah nasib. Frustasi lantaran kerja keras banting tulang, tapi tak ada perbaikan.

Mereka ini bisa disebut penjudi karena masalah struktural. Kemiskinannya terbentuk karena faktor struktural. Mentalitasnya sebagai penjudi terbentuk karena problem struktural. Semuanya saling terkait dan membentuk lingkaran sosial yang sulit diputuskan. Tindakan penangkapan yang dilakukan aparat berwajib pun terkesan ibarat “obat rawat jalan”. Ajang judi diberantas, kartu domino disita, toto gelap (togel) diintai dan pengedarnya dibekuk.

Tapi (maaf), setelah ditangkap, ada beberapa oknum terkait justru memperkenalkan tersangka kepada permainan birokrasi yang busuk. Suap sana sogok sini, penangguhan pun dilakukan. Tersangka kembali menghirup udara bebas. Dan kembali tetap menjadi pengedar kupon togel.

Imbasnya, berita-berita tentang kemampuan aparat membekuk bandar judi dipandang sinis masyarakat. Mereka memberantas togel tapi membiarkan kemiskinan seolah-olah bukan lahan subur penyebab kecenderungan orang menjadi petaruh.

Peredaran judi togel memang tidak pernah mati. Ia tetap saja ada. “Sekarang ini para pemain judi togel terutama para pengecer dan agennya bermain cukup rapi sehingga sangat menyulitkan petugas untuk membuktikannya,” ujar Syaiful (45), seorang warga yang mengaku pernah menjadi penggila togel. Meskipun para pengedar maupun agen judi togel bermain rapi, fakta di lapangan peredaran judi togel ini semakin hari semakin digemari kalangan pencandu judi. Betapa tidak, kemenangan yang dijanjikan bila nomornya "tembus" sangat menggoda.

Seperti dulu, bila dua angka tembus akan memporeleh Rp 60.000,00 padahal si pemasang hanya mengeluarkan uang Rp 1.000, sedangkan kalau tiga angka akan memperoleh Rp 350.000 dan selanjutnya dengan nilai hadiah yang menggiurkan. Fenomena inilah yang harus disikapi semua kalangan. Tidak hanya aparat. Sebab, memberantas togel butuh keseriusan. Agar togel tidak lagi membandel dan merasuki pikiran masyarakat. Sekadar diingat, mimpi hanyalah bunga tidur. Jadi, untuk apa dibeli ? (*)

Read More......

Layu Sebelum Mekar

Siang itu, Bunga (10), terlihat murung. Bocah imut yang keseharianya terlihat ceria ,tiba-tiba terlihat murung. Hari-harinya, kerap dihabiskan di dalam kamar. Bayangan menakutkan, selalu menghantui pikirannya. " Maaf Nak, Kalau bisa hari ini jangan ganggu Bunga. Ia masih shock," ujar ibunya. Sejumlah wartawan yang sengaja mendatangi, terlihat terenyuh. Sikap pantang menyerah dalam mencari berita, tiba-tiba sirna. Kalimat tadi membuat mereka terenyuh dan terdiam.



Bunga, merupakan salah satu korban kekerasan seksual. Naifnya, si pelaku justru kerabat dekat keluarga. Sejak saat itu, ia tidak mau lagi sekolah. Malu bertemu orang-orang. Ia juga kerap bermimpi sambil teriak dan histeris. Petikan cerita ini memang cukup memiriskan untuk disimak. Sebuah bukti kalau kekerasan terhadap anak-anak masih ada disekeliling kita.

Belakangan ini, pelecehan dan kekerasan seakan menjadi bahasa sehari-hari yang sering terdengar di media massa. Bagi Anda yang menyayangi anak-anak, ketika mendengar kata pelecehan dan kekerasan pada anak-anak, mungkin Anda langsung membayangkan tentang caci maki, pelecehan seksual, dan kekerasan fisik pada anak.

Pada kenyataannya, pelecehan pada anak-anak tidak hanya sebatas itu, pelecehan tanpa disadari banyak dilakukan oleh segelintir orang tua. Dengan melarang seorang anak melakukan hal-hal yang disukainya saja, sebenarnya kita sudah melakukan pelecehan secara psikologis terhadap anak-anak.

Anda mungkin berpikir pelarangan tersebut (misalnya melarang anak bermain pasir) Anda tujukan untuk kebaikan sang anak juga. Namun Anda tidak menyadari bahwa pelarangan tersebut tidak hanya membatasi kebebasan sang anak, tetapi juga berdampak pada psikologisnya. Sang anak menjadi takut untuk melakukan sesuatu, inisiatif dan daya kreasinya menjadi tumpul karena anak harus menunggu persetujuan Anda sebagai orang tua agar mereka diizinkan melakukan sesuatu yang mereka inginkan.

Di Indonesia hampir di setiap sudut jalan dapat kita temukan anak-anak jalanan. Dalam hati kecil, kita pasti heran. Kenapa anak-anak tersebut dibiarkan berkeliaran begitu saja di pinggir jalan dalam keadaan tak terurus. Jangankan mendapat kasih sayang, uang saja mereka harus mencari sendiri. Sebenarnya kalau membicarakan tentang undang-undang, di Indonesia sudah ada pasal yang mengatur tentang anak-anak yang telantar seperti itu, yaitu Pasal 34 UUD 1945, tetapi sampai sekarang pelaksanaannya masih "patut" dipertanyakan.

Sudah menjadi rahasia umum kalau pelaksanaan undang-undang di Indonesia tidak tegas, hanya sebatas teori belaka. Belakangan sering terdengar tentang kekerasan pada anak tidak hanya sebatas pukulan dan tamparan, tetapi berkembang pada pelecehan seksual dan pemerkosaan. Pandangan kuno masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa hanya wanita berpenampilan seksi atau berpakaian terbuka saja yang bisa menjadi korban perkosaan. Pandangan tersebut tentu saja salah dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman saat ini.

Tidak hanya wanita yang berpakaian terbuka yang bisa menjadi korban perkosaan, anak-anak pun tak luput dari kejahatan semacam itu. Kalau dulu kita masih akan terheran-heran mendengar tentang perkosaan ayah terhadap anak kandungnya. Sekarang berita semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Di televisi dan surat kabar berita semacam itu sudah tidak ditutup-tutupi lagi.

Sayang sekali tidak banyak orang tua yang mempersiapkan anak-anaknya menghadapi pelecehan seksual semacam itu. Seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan dengan anak-anak. Padahal seharusnya anak-anak diberikan pengetahuan tentang seks yang sesuai dengan usianya agar apabila suatu saat sang anak mendapat "perlakuan yang tidak seharusnya", dapat segera melapor kepada orang tuanya.

Kebanyakan anak yang mendapat pelecehan seksual memilih untuk bungkam. Alasan eksternal dari kebungkaman itu tentu saja karena sang anak mendapat ancaman dari sang pelaku. Namun di balik itu terdapat alasan dari diri sang anak juga. Sang anak takut kalau ia tidak disayang lagi setelah orang-orang tahu ia mendapat pelecehan seksual.

Mungkin alasan tersebut terdengar lucu di telinga kita. Tetapi rupanya pikiran seorang anak jauh berbeda dengan pikiran orang dewasa. Walaupun belum memahami sepenuhnya tentang “sesuatu” yang telah terjadi pada dirinya, sebagai manusia seorang anak mempunyai naluri dan mencium ketidakberesan yang telah diperbuat orang terhadap dirinya.

Setelah mendapat perlakuan yang tidak senonoh (misalnya perkosaan), seorang anak merasa ada yang hilang dari dirinya atau ada sesuatu yang salah telah menimpanya.
Beban yang diderita seorang anak perempuan yang baru saja diperkosa bukan sebatas rasa sakit pada alat kelaminnya, tetapi juga rasa malu dan sakit hati yang harus dideritanya seumur hidup, terutama setelah dewasa, ketika ia kemudian mengetahui apa yang telah menimpa dirinya secara jelas.

Ironisnya, sebagian besar pelaku pemerkosaan pada anak adalah kerabat dekat atau orang yang sudah dikenal baik oleh sang anak. Orang yang selama ini disayangi oleh mereka (anak-anak tersebut) tiba-tiba berubah menjadi "monster" yang telah mengambil harga diri anak-anak tersebut.

Kejahatan terhadap anak-anak dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Asalkan ada kesempatan sang pelaku tidak segan-segan memuaskan nafsu berahinya terhadap anak-anak. Yang mengherankan, tidak hanya anak perempuan yang bisa menjadi korban pelecehan seksual.

Di Indonesia sebenarnya telah dibuat undang-undang tentang kekerasan pada anak, misalnya Pasal 287 KUHP, yakni tentang persetubuhan anak di bawah umur dan Pasal 290 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur. Namun patut disayangkan, kejahatan seksual pada anak seperti ini seperti dianggap angin lalu saja karena hukuman yang diberikan terhadap pelakunya sama sekali tidak sebanding dengan rasa sakit dan malu yang harus ditanggung sang anak seumur hidupnya.

Pasal 287 KUHP saja mematok hukuman maksimal 9 tahun atas kejahatan seksual pada anak tersebut. Kekerasan pada anak memang topik yang tidak ada habis-habisnya untuk dibicarakan, karena orang tua yang "normal" atau menganggap anak sebagai harta tak ternilai tidak akan sampai kepada pikiran mengapa kejahatan seksual dilakukan pada anak-anak, masa di mana seorang manusia sedang tumbuh dengan lucu-lucunya.

Dalam hal ini mencari tahu sebab-sebab pelaku melakukan kejahatan seksual bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah menghindarkan anak dari pengetahuan seks yang tidak sehat.(*)

Read More......

Sabtu, 03 November 2007

Baju Buruh Makin Lusuh


Setiap tahun, tepatnya tanggal 1 Mei, para buruh selalu saja turun ke jalan. Mereka berunjuk rasa, mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan nasip serta kesejahteraan. Karena, selaku pekerja, sejumlah diskriminasi serta ketidakadilan kerap diterima. Tanggal 1 Mei tadi, lebih dikenal dengan sebutan May Day. Di hari tersebut, hampir seluruh buruh (di dunia) memperingati. Bahkan, secara tak langsung (dalam komunitas buruh) hari tersebut dijadikan hari libur Internasional. May Day..May Day..

Di Indonesia, hari Buruh 1 Mei diperingati semenjak tahun 1920. Tapi sejak masa pemerintahan Orde Baru hari Buruh tidak lagi diperingati di Indonesia. Dan sejak itu, 1 Mei bukan lagi merupakan hari libur bagi buruh—untuk memperingati peranan buruh dalam masyarakat dan ekonomi. Penyebabnya adalah, gerakan buruh dihubungkan dengan gerakan serta paham komunis yang sejak kejadian G30S pada 1965 ditabukan di Indonesia.

Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali ‘marak’ dirayakan oleh buruh. Aksi pun digelar di berbagai kota. Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak pernah terbukti. Bahkan, sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2006 tidak pernah ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh. Apasih yang mereka inginkan?

Semua tak lebih dari permintaan perbaikan kesejahteraan yang menurut mereka masih belum direalisir pemerintah. Mereka masih saja merasa ‘termarginalkan’. Terlepas benar atau tidaknya, yang pasti aksi terus bergulir tanpa henti hingga sekarang.

Tuntut UU No. 13/2003 Dicabut

May Day 2006 lalu, sepertinya bisa dikatakan sebagai momentum yang bersejarah di Indonesia. Dalam aksi tersebut, para buruh menuntut agar UU Ketenagakerjaan No 13/2003 dicabut. Dan rencana revisi dari pemerintah pun ditolak (Suara Pembaruan, 23/3/06). UU ini sebenarnya juga berangkat dari akar persoalan yang sama dengan kaum buruh di Perancis, yakni keinginan pemerintah untuk menggolkan desakan dan tuntutan agenda global guna menciptakan pasar tenagakerja yang fleksibel.

Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dicontohkan dari rencana revisi pasal-pasal yang mengatur tentang outsourcing dan Kontrak Kerja Waktu Tertentu yang diusulkan untuk diperbolehkan bagi semua jenis pekerjaan. Pasal ini menjadi hal yang paling krusial dari rencana revisi tersebut. Jika aturan baru ini diberlakukan, maka fleksibilitas bagi pengusaha (employer) untuk melakukan pemecatan, pemindahan dan lainnya bakal menjadi terbuka .

Karena status buruh kontrak memberi peluang untuk itu (persis seperti semangat the CPE yang coba di-gol-kan pemerintah Perancis). Kedua peraturan itu —menurut para buruh—bertendensi untuk melapangkan jalan neoliberal bagi terwujudnya negara yang mengabdi total pada kepentingan pasar.

Situasi pasar tenagakerja di Indonesia saat ini memang telah terjebak dalam dilema yang pelik. Di sisi penawaran, telah terjadi labour surplus yang ekstrim akibat supply buruh yang tinggi, seiring dengan tingginya angka pengangguran ditenggarai telah mencapai angka 42,1 juta orang ditahun 2006. Sementara, di sisi permintaan, demand atas buruh sangat rendah karena kurangnya investasi. Upaya penerapan labour market flexibility pun dianggap bukanlah solusi yang tepat.

Fleksibilitas itu dapat dipastikan hanya akan bermuara pada situasi ‘flexploitation’ -meminjam plesetan seorang demonstran di Perancis- ketika ekspolitasi terhadap buruh dikondisikan menjadi sesuatu yang fleksibel. Justru diperlukan sikap bijak pemerintah untuk mencari jalan keluar yang lebih baik. Nasib buruh harus ditempatkan sebagai dasar pertimbangan utama, dan jangan mengabdi buta pada kepentingan modal.

Penderitaan kaum buruh akan beban biaya hidup yang sangat tinggi setelah kenaikan BBM ditengah tingkat upah yang masih sangat jauh dari layak (terendah di Asia), sudah menjadi beban berat yang sangat tidak adil jika ditimpali beban baru lagi. Tak hanya itu, faktor yang paling menghambat investasi justru dianggap ada di birokrasi pemerintah (tidak efisien).

Di Sumbar, persoalan sama juga ada. Sejumlah persoalan masih menghimpit para tenaga kerja (buruh). Mungkinkah, keinginan para tenaga kerja berjumlah 83.272 orang yang bekerja pada 2119 buah perusahaan tersebut akan terpenuhi keinginan mereka (peningkatan kesejahteraan) ? (*)

Read More......

Los Kontrol Rumah Kos

“ Woi...mau kemana kamu? Kamu razia surat-surat kelengkapan izin !” hardik seorang nenek tua penjaga rumah kost kepada petugas dan wartawan yang ikut meliput pasukan penegak Perda Kota Padang dalam sebuah operasi penertiban di sebuah rumah kost putri di kawasan Pondok. “ Jangan foto-foto Ya. Sebab, disini tidak ada yang aneh. Kalau masih bandel, nanti saya laporkan kepada anak saya. Kamu kenal anak saya khan?”katanya membangga.

Awalnya, setelah mendengar itu, petugas penegak perda sedikit ngeper dan enggan. Maklum, nama yang di sebutkan si nenek tua memang cukup dikenal se antero Kota Padang ini. Namun, keengganan tadi tiba-tiba sirna. Pasalnya, dari salah satu kamar di sana, petugas beserta para wartawan peliput mendengar suara laki-laki.

Nah lho. Ini kan kost khusus putri, guman sejumlah petugas dan wartawan. Tanpa mengiraukan larangan dari si nenek, petugas mengetok kamar yang dicurigai tersebut. Ternyata benar, di dalam kamar ditemui sepasang cucu adam. Parahnya, si lelaki justru sembunyi dan lari ke dalam kamar mandi.

Lebih herannya lagi, dipintu masuk, sebuah tulisan berhuruf besar “ Tamu Laki-laki dilarang Masuk Kamar” jelas-jelas terpampang. Ini larangan atau slogan? Koq masih ada yang masuk kamar? “Kamu siapa?” tanya petugas tanya petugas kepada si lelaki.

Dia kekasih saya, jawab si perempuan. dikarenakan kepergok tengah berduaan di kamar dan dicurigai telah berbuat diluar norma, Kedua remaja belia berinisial “Ar” (21), laki-laki, warga Gunuang Pangilun dan Wid (20), perempuan, warga Indropuro, Kabupaten Pasisia Selatan ini digiring ke Kantor Pol PP.

Naifnya, kendati sudah mendapatkan bukti kalau rumah kos yang dikelolanya menyalahi ketepatan aturan berlaku, si nenak pengelola masih saja ngotot. “ Eh..ehh, kamu jangan lancang. Main bawa-bawa anak kos kita,” belanya.

Parahnya, anak laki-laki si nenek yang kebetulan ada di sana justru sempat mengamuk. Operasi penertiban tadipun nyaris ricuh. Karena perlakuan anak si nenek yang mengarah ke anarkis. Emosi petugas dan wartawan juga nyaris meledak. Terutama tatkala bogem di laki-laki melayang ke arah salah satu wartawan disana. Untungnya, si anak yang dibanggakan segera datang dan menyabarkan.

“Maafkan keluarga saya. Mungkin dia sedikit tidak mengetahui aturan penertiban,” katanya berdiplomasi. Mendengar itu, petugas sedikit lega. Sebuah surat panggilan pun segera diberikan ke laki-laki paruh baya tersebut oleh petugas. “Baiklah, besok saya akan mengurus persoalan ini ke kantor Pol PP, “ katanya datar seolah mengetahui kesalahan yang telah diperbuat.

Sebuah penuturan paling mengejutkan kembali disebutkan pasangan belia tadi di Mapol PP Kota Padang. Saat dimintai keterangan, mereka mengakui kalau pemilik tidak melarang bawa tamu ke kamar. “ Kalau siang hari ga apa-apa koq. Asal tidak lebih dari 2 - 3 jam,” katanya lantang.

Wow...apakah ini yang dinamakan ‘kehidupan’ tempat kos? Secara tak langsung, kejadian tersebut telah membukakan mata kita bersama. Kalau masih adanya lokasi yang harus lebih diperhatikan. Khususnya untuk rumah-rumah kos mahasiswi dan mahasiswa. Memang bukan ke seluruhan rumah kos berlaku seperti ini. Tapi, kalau satunya telah berbuat, imbas negatif secara tak langsung akan dirasakan oleh yang lainnya. Sejumlah aturan pun jelas telah dilanggar. Seperti Perda, Norma dan Adat istiadat.

Ini harus segera disikapi. Apalagi, Ranah Minang terkenal dengan Adat bersandi sara, sara basandi kitabullahnya. Dengan tujuan, los kontrol dirumah kos yang notabene mengundang perbuatan asusila dan maksiat di rumah-rumah kost, dapat diminimalisir dan dihapuskan. (*)

Read More......

Cap Banteng Bikin Ganteng

Ketika Belia Kesetrum Trademark Kota

Baa..? Lah mantap Pren?
Lah... lah cantik mato mpak den.
Lai ganteng ? Lai bantuak vokalis Superman Is Dead atau Endang Soekamti ?
Persis bana ko ha.
Baa jalan wak lai.
Kamaa..
Ngamen lai. Dak ka makan ?
Pakai stek a..bia samo ganteng wak.

Begitulah kira-kira perbincangan antara dua anak jalanan berumur belia disebuah sudut pertokoan. Celotehan tadi, seolah dijadikan “persyaratan” turun ke jalanan. Sebelum gitar butut dan giring-giring disandang, performen sudah harus oke--versi mereka. Pakaian urakan, sedikit kumal, mata merah separoh meram (seperti orang ngantuk) sepertinya sudah merupakan sebuah ‘kebanggaan’. Sebuah fenomena kehidupan jalanan yang cukup memiriskan.

Ditengah keterbatasan dan kesulitan, mereka tetap mementingkan trademark kota. Style dari para group band pujaan, terlihat sudah merasuki keseharian mereka. Terbius gaya, logat serta tingkah-polah. Keterbatasan kantong, terlihat tak dijadikan penghalang. Yang penting, asal bisa terlihat gaul dan modis. Ektrimnya, mengisap Lem (banteng/aibon) pun dilakoni. Sekadar hiburan serta selingan. Resikonya pun lebih kecil dari narkoba. Sebuah fenomena dari sisi gelap
pergaulan jalanan yang mulai merambah Sumbar.

Kota Bukittinggi, misalnya. Kota yang lebih dikenal dengan kota wisata ini, termasuk salah satu kota yang diserbu para anjal. Keberadaan mereka pun nyaris dikonotasikan identik dengan gaya kehidupan negatif. Seperti pergaulan bebas, narkoba, menghisap lem dan sebagainya. Yang ujungnya, mengarah ke kejahatan serta meresahkan masyarakat. Namun, pernyataan tadi tidak seluruhnya benar. Kendatipun ada, itupun cuma dilakukan beberapa orang dari mereka. Terutama yang sudah tidak bisa diarahkan lagi.

Boy (25), nama pinjaman, seorang pengamen yang kerap berada dijalanan kepada Tim Telusur mengakui kalau kebiasaan make baik itu narkoba atau ngelem masih ada dijumpai ditengah para rekan-rekan dan adik-adiknya yang berkeliaran dijalanan. Lelaki yang dulunya sempat mengecap pendidikan hingga kelas 2 SMA tadi, mengakui dirinya dulu juga pernah terjebak perlakuan tersebut. Tapi, setelah sakit yang dideritanya, membuat dirinya sadar. Bahwasanya perbuatan itu merupakan perbuatan salah dan menyiksa diri sendiri. Ia menyebutkan, kegiatan mengamen dilakoninya sekadar melampiaskan rasa seni. Hasil juga lumayan. Dapat menutupi kebutuhan hidup harian. Kadang Rp 20 Ribu, kadang mencapai Rp 60 Ribu.

Lain lagi, Rodes (bukan nama sebenarnya). Sebuah pengalaman pribadi khusus ngelem justru pernah dialaminya. Semua ia tak menyangka kalau aroma nikmat lem nakal nyaris merenggut nyawanya. Dituturkannya, dalam sehari ia biasa mengisap empat kaleng lem cap Banteng. Awalnya cuma buat ganteng-gantengan dan gagah-gagahan. Coba - coba pun dilakukan bersama dengan rekan seusia dan seprofesi dijalanan. Namun semakin hari ia merasa ketagihan, awalnya menggunakan sedikit demi sedikit, dan semakin hari bertambah banyak. Ia semakin tidak bisa tenang apabila tak menggunakan lem. Awalnya, satu kaleng habis dalam waktu seminggu.

Klimaknya, justru habis empat kaleng sehari. Lem dibeli dengan harga Rp 4000/kaleng. Artinya, setiap hari, harus berusaha keras mendapatkan uang sebanyak Rp 16.000.
Parahnya, terkadang ngelem lebih diperlukan dibandingkan nasi. “Kalau pagi, bangun dari tidur, sarapan yang lebih enak digunakan, adalah menghirup isi dari lem. Rasa - rasanya seperti berada di awang-awang, “ ujarnya. Tubuhnya kian hari kian lemah. Kelakuan bertambah uring - uringan tidak karuan. Rasa “nyaman” sesaat tadi terasa makin membius kesehariannya. Ujung-ujungnya, perilakunya kian brutal. Ia kerap mengganggu ketenangan masyarakat. Terutama yang melintas didepannya.

Mengamenpun dilakukan asal-asalan. Terkadang menggunakan gitar, terkadang tidak. Hanya tepukan tangan saja. Yang terpenting baginya, menerima imbalan dari suara yang ‘’cepreng” yang dijualnya tadi. Seperak, atau dua perak uang hasil mengamen dikumpulkannya. Itupun tidak digunakan untuk makan. Lagi-lagi untuk pembeli perekat (lem). Saat itu, dalam pikirannya hanya satu. Menghirup lem tersebut lebih aman dari pada narkoba. Kalau menggunakan narkoba bisa ditangkap polisi, sementara lem, tidak (aman).

Untung saja, tak lama saat pencapaian klimak ketergantungan ngelem dirinya jatuh sakit. Dalam proses pengobatan, kesadaran muncul. Rasa benci terhadap sarapan uap lem pun datang. Semenjak itu, dirinya kapok dan tidak lagi mau menyentuh kaleng-kaleng keparat tadi. Ia sadar, kalau ‘’sarapan’’tersebutlah yang nyaris merenggut nyawanya.

Rodes ikut menyayangkan para rekan dan adik-adiknya yang masih belum sadar akan bahaya tersebut. Ia sangat berharap kepada pihak berwajib segera menjaring mereka yang kecanduan ngelem tersebut. Selanjutnya, diberikan pengarahan dan bimbingan supaya mereka sadar akan bahaya yang akan dihadang. Khususnya kantor sosial, juga dimintai untuk lebih mengoptimalkan lagi program-program pembinaan.

Seiring usainya cerita tadi, sebuah angkot berhenti. Sebuah tembang ciptaan Guruh Soekarno Putra yang pernah dilantunkan alm Crisye terdengar nyaring. Anak jalanan kumbang metropolitan / Selalu dalam kesepian / Anak jalanan korban kemunafikan / Selalu kesepian di keramaian / Tiada tempat untuk mengadu / Tempat mencurahkan isi kalbu / Cinta kasih dari ayah dan ibu / Hanyalah peri yang palsu.

Wow...sebuah pengalaman pahit memang. Namun, sepertinya bisa dijadikan perbandingan. Bahwa, kerasnya kehidupan dijalan tak membuat para anak-anak jalanan mutlak berkelakuan kasar. Sebagian mereka masih saja berhati nurani.(*)

Read More......